PENDAHULUAN
Mendaki gunung bukan olah raga biasa. Setidaknya
setiap pendaki gunung harus cukup mentalnya, mempunyai ketrampilan,
kecerdasan, kekuatan, dan daya juang yang tinggi. Hal ini karena
tantangan yang dihadapi mempunyai kualitas tersendiri. Pada hakekatnya
bahaya dan tantangan tersebut adalah untuk menguji kemampuan diri
sendiri dalam bersekutu dengan alam keras. Keberhasilan suatu pendakian
yang sukar berarti keunggulan terhadap rasa takut dan kemenangan
terhadap perjuangan melawan diri sendiri.
Sejak dua abad yang
lalu, kegiatan mendaki gunung mulai dikenal dan digemari oleh manusia.
Dimulai sejak manusia harus melintasi bukit-bukit atau pegunungan, baik
semasa peperangan maupun ketika melakukan tuntutan kehidupannya. Seperti
yang dilakukan oleh Hanibal, panglima kerajaan Kartago, atas Pegunungan
Alpen yang bersejarah. Atau petualangan yang dilakukan oleh Jengis Khan
yang melintasi Pegunungan Karakoram dan Kaukasus untuk menuju Asia
Tengah.
Dalam bentuknya seperti sekarang ini, pendakian yang
gemilang untuk pertama kalinya terjadi pada tahun 1786, ketika Dr.
Paccard dan seorang pemandu Balmant berhasil mencapai Puncak Mount Blanc
(4807 m), yang maksudnya sebagai pengamatan ilmiah.
Babak
berikutnya, puncak-puncak Pegunungan Alpen mulai dijajagi oleh penggemar
olah raga mendaki gunung, dan semakin populer setelah Sir Alfred Willis
beserta kawan-kawannya pada tahun 1854 berhasil mencapai Puncak
Watterhorn (3708 m). pendakian itu merupakan abad emas Alpinisme dan
merupakan cikal bakal terbentuknya perkumpulan pendaki gunung tertua di
dunia, British Alpine Club (1857).
Kemudian Edward Whymper,
seorang pelukis Inggris memimpi pendakian ke Matterhorn (4478 m) pada
tahun 1865. Pendakian tersebut dimaksudkan untuk membuat lukisan
Pegunungan Alpen. Tetapi tragis, ketika mereka turun setelah
keberhasilannya, tali pengaman putus sehingga merenggut 4 jiwa dari 7
anggota kelompoknya. Setelah pendakian yang penuh tragedi itu, mulailah
para pendaki gunung mencoba mencapai puncak-puncak lainnya.
Ketika
puncak-puncak Pegunungan Alpen sudah sering didaki, para pendaki mulai
mencari puncak lainnya, dan mengalihkan pilihan pada Pegunungan
Himalaya.
Sekelompok pendaki gunung Perancis, pada 1950 berhasil
mencapai Puncak Annapurna I (8078 m). prestasi ini mendorong minat
Kolonel John Hunt untuk memimpin ekspedisi mencapai Mount Everest (8848
m), puncak tertinggi di dunia yang ditemukan pada 1852 oleh Sir Andrew
Vaugh (mengambil nama Everest untuk menghormati gurunya Sie George
Everest).
Setelah beberapa kali mengalami kegagalan, akhirnya
Mount Everest dapat dicapai oleh Edmund Hillary dari Selandia Baru
dengan bendera Inggris, Nepal, dan PBB bersama seorang pemandu dari
Nepal Tenzing Norgay pada tanggal 29 Mei 1953.
Di Indonesia, pada
tahun 1909 – 1911, suatu ekspedisi persatuan ahli-ahli burung dari
Inggris menembus rimba Irian dari arah Selatan, menuju gugusan
pegunungan salju Jayawijaya. Mereka tinggal selama 16 bulan, tetapi
kembali dengan kegagalan.
Ekspedisi Van der Pie pada tahun
berikutnya mengambil arah dari sebelah Timur, dan juga mengalami
kegagalan. Tahun 1912, Dr. Walaston dengan jalur Utara Lembah Itakwa
berhasil mencapai ketinggian 3000 meter, namum belum berhasil mencapai
Puncak Cartenz Pyramide. Ekspedisi berikutnya lebih berhasil di bawah
pimpinan Dr. A. H. Colijin, mencapai Puncak NggaPulu (4862 m) di dinding
Utara gletser es Puncak Jaya pada tahun 1936.
Pendakian itu
membuka lembaran sejarah baru bagi pendakian di Indonesia. Tetapi lama
setelah itu, ekspedisi dari Selandia Baru di bawah pimpinan Henrich
Harreu pada 1962 berhasil mencapai puncak bersalju Cartenz Pyramide
(4884 m). Tanggal 1 Maret 1964, Sugirin, Soedarto dan Fred Athaboe
bersama Tazuke dan kawan-kawannya dari Jepang yang tergabung dalam
Ekspedisi Cendrawasih berhasil mencapai Puncak NggaPulu yang kemudian
diberi nama Puncak Soekarno di pegunungan tengah Jayawijaya.
Masih
di tahun yang sama pada bulan Mei, Wanadri di Bandung diresmikan
sebagai perkumpulan penempuh rimba dan pendaki gunung, dan Mapala UI di
Jakarta di penghujung tahun yang sama. Dan secara serempak kemudian
bermunculan perkumpulan lainnya serupa di berbagai kota di bumi.
Jenis-jenis Pendakian/Perjalanan
Olah
raga mendaki gunung sebenarnya mempunyai tingkat dan kualifikasinya.
Seperti yang sering kita dengar adalah istilah mountaineering atau
istilah serupa lainnya. Istilah yang keren itu membuat kita tersipu,
karena artinya begitu luas, misalnya mencakup pengertian perjalanan
mulai melintasi bukit hingga melakukan ekspedisi ke Himalaya.
Menurut bentuk dan jenis medan yang dihadapi, mountaineering dapat dibagi sebagai berikut :
1.Hill Walking/Feel Walking
•Perjalanan
mendaki bukit-bukit yang relatif landai. Tidak membutuhkan peralatan
teknis pendakian. Hal utama adalah jalur pendakian sudah tersedia.
Perjalanan ini dapat memakan waktu sampai beberapa hari, sehingga
ketrampilan memilih tempat berbivak sangat diperlukan, atau
kadang-kadang sudah tersedia.
•Contoh : perjalanan ke puncak Gunung Gede.
2.Scrambling
•Pendakian
setahap demi setahap pada suatu permukaan yang tidak begitu terjal.
Tangan kadang-kadang dipergunakan hanya untuk keseimbangan. Untuk
pemula, tali kadang-kadang harus dipasang untuk pengamanan dan
mempermudah gerakan.
•Contoh : perjalanan di sekitar puncak Gunung
Gede jika melalui jalur Cibodas. Tali dipasang selain sebagai pengaman,
juga untuk mempermudah perjalanan ke puncak.
3.Climbing
Dikenal
sebagai suatu perjalananpendek yang umumnya tidak memakan waktu lebih
dari 1 hari, hanya rekreasi ataupun beberapa pendakian gunung yang
praktis. Kegiatan pendakian yang membutuhkan penguasaan teknik mendaki
dan penguasaan pemakaian peralatan. Bentuk climbing ada dua macam :
•Rock
Climbing; Pendakian pada tebing-tebing batu atau dinding karang. Jenis
pendakian ini akan diuraikan lebih lanjut, karena jenis pendakian inilah
yang umumnya ada di daerah tropis.
•Snow and Ice Climbing;
Pendakian pada es dan salju. Pada pendakian ini peralatan-peralatan
khusus sangat diperlukan, seperti ice axe, ice screw, crampon, dan
lain-lain.
4.Mountaineering
Merupakan gabungan
perjalanan dari semua bentuk pendakian di atas. Bisa memakan waktu
berhari-hari, bahkan sampai berbulan-bulan. Di samping pengetahuan
teknik mendaki dan pengalaman mendaki, perlu juga dikuasai manajemen
perjalanan, pengaturan makanan, komunikasi, dan lain-lain. Contoh :
ekspedisi ke Himalaya.
TEKNIK DASAR PENDAKIAN/ROCK CLIMBING
A. Teknik Mendaki
Teknik
memanjat pada dasarnya merupakan cara agar kita dapat menempatkan tubuh
sedemikian rupa sehingga cukup stabil, memberi peluang untuk bergerak,
dan dapat bertahan lama (tidak melelahkan). Dengan demikian kita dapat
melakukan pendakian dengan tepat, aman, dan sedapat mungkin cepat.
Stabilitas
atau keseimbangan kedudukan badan muncul sebagai hasil hubungan antara
berat badan dan gaya tumpuan atau pegangan yang ada pada permukaan
tebing. Pengaturan letak badan, gaya tumpuan dan pegangan menentukan
kestabilan yang diperoleh. Peluang gerak untuk mendaki lebih lanjut
ditentukan oleh kemampuan menempatkan tubuh pada tempat yang cocok untuk
kondisi medan yang dihadapi.
Pada umumnya dinding tebing terdiri
dari bermacam cracks dan ledges. Karena pengaruh iklim, suhu, angin,
serta faktor lainnya, dinding tebing mengalami kontraksi dan ekspansi
yang menyebabkan munculnya celah mulai dari yang kecil/sempit sampai
yang panjang/lebar. Dinding sering mengalami erosi sehingga mengalami
kekasaran dan ketidakrataan permukaan. Kekasaran dan ketidakrataan ini
dapat dipergunakan sebagai tumpuan/injakan maupun pegangan. Karena
bermacamnya kondisi permukaan tebing ini, maka teknik memanjat
dikelompokkan berdasarkan tiga kategori umum. Pengelompokkan ini sesuai
dengan bagian tebing yang dimanfaatkan untuk memperoleh gaya tumpuan dan
pegangan.
1.Face Climbing
Yaitu memanjat pada
permukaan tebing dimana masih terdapat tonjolan atau rongga yang memadai
sebagai pijakkan kaki maupun pegangan tangan. Para pendaki pemula
biasanya mempunyai kecenderungan untuk mempercayakan sebagian besar
berat badannya pada pegangan tangan, dan menempatkan badannya rapat ke
tebing. Ini adalah kebiasaan yang salah. Tangan manusia tidak biasa
digunakan untuk mempertahankan berat badan dibandingkan kaki, sehingga
beban yang diberikan pada tangan akan cepat melelahkan untuk
mempertahankan keseimbangan badan. Kecenderungan merapatkan badan ke
tebing dapat mengakibatkan timbulnya momen gaya pada tumpuan kaki. Hal
ini memberikan peluang untuk tergelincir. Konsentrasi berat di atas
bidang yang sempit (tumpuan kaki) akan memberikan gaya gesekan dan
kestabilan yang lebih baik.
2.Friction/Slab Climbing
Teknik
ini semata-mata hanya mengandalkan gaya gesekan sebagai gaya penumpu.
Ini dilakukan pada permukaan tebing yang tidak terlalu vertikal,
kekasaran permukaan cukup untuk menghasilkan gaya gesekan. Gaya gesek
terbesar diperoleh dengan membebani bidang gesek dengan bidang normal
sebesar mungkin. Sol sepatu yang baik dan pembebanan maksimal di atas
kaki akan memberikan gaya gesek yang baik.
3.Fissure Climbing
Teknik
ini memanfaatkan celah yang dipergunakan oleh anggota badan yang
seolah-olah berfungsi sebagai pasak. Dengan cara demikian, dan beberapa
pengembangan, dikenal teknik-teknik berikut :
•Jamming adalah
teknik memanjat dengan memanfaatkan celah yang tidak begitu lebar.
Jari-jari tangan, kaki, atau tangan dapat dimasukkan/diselipkan pada
celah sehingga seolah-olah menyerupai pasak.
•himneying adalah
teknik memanjat celah vertikal yang cukup lebar (chimney). Badan masuk
di antara celah, dan punggung di salah satu sisi tebing. Sebelah kaki
menempel pada sisi tebing depan, dan sebelah lagi menempel ke belakang.
Kedua tangan diletakkan menempel pula. Kedua tangan membantu mendorong
ke atas bersamaan dengan kedua kaki yang mendorong dan menahan berat
badan.
•Bridging adalah teknik memanjat pada celah vertikal yang
lebih besar (gullies). Caranya dengan menggunakan kedua tangan dan kaki
sebagai pegangan pada kedua celah tersebut. Posisi badan mengangkang,
kaki sebagai tumpuan dibantu oleh tangan yang juga berfungsi senagai
penjaga keseimbangan.
•Lay Back adalah teknik memanjat pada celah
vertikal dengan menggunakan tangan dan kaki. Pada teknik ini, jari
tangan mengait tepi celah tersebut dengan punggung miring sedemikian
rupa untuk menempatkan kedua kaki pada tepi celah yang berlawanan.
Tangan menarik ke belakang dan kaki mendorong ke depan dan kemudian
bergerak naik ke atas silih berganti.
Teknik-teknik lain yang sering digunakan dalam pendakian tebing adalah :
•Hand
Traverse adalah teknik memanjat pada tebing dengan gerak menyamping
(horizontal). Hal ini dilakukan bila tempat pegangan yang ideal sangat
minim dan memanjat vertikal sudah tidak memungkinkan lagi. Teknik ini
sangat rawan, dan banyak memakan tenaga karena seluruh berat badan
tergantung pada pegangan tangan. Sedapat mungkin pegangan tangan dibantu
dengan pijakan kaki (ujung kaki) agar berat badan dapat terbagi lebih
merata.
•Mantelself adalah teknik memanjat tonjolan-tonjolan
(teras-teras kecil) yang letaknya agak tinggi, namun cukup besar dan
dapat diandalkan untuk tempat berdiri selanjutnya. Kedua tangan
dipergunakan untuk menarik berat badan, dibantu dengan pergerakan kaki.
Bila tonjolan-tonjolan tersebut setinggi paha atau dada, maka posisi
tangan berubah dari menarik menjadi menekan, untuk mengangkat berat
badan, yang dibantu dengan dorongan kaki.
Proses memanjat merupakan gabungan dari berbagai kegiatan dasar, yaitu :
•Mengamati,
mengenal medan, dan menentukan lintasan/rute yang akan dilalui, baik
secara keseluruhan maupun selangkah, yang sangat menentukan untuk
langkah berikutnya. Permukaan tebing yang banyak memiliki tangga-tangga
(teras kecil), tonjolan, lekukan, dan celah serta sudut (corner)
merupakan lintasan-lintasan yang mungkin untuk dilalui.
•Memikirkan
teknik yang akan dipakai secara keseluruha maupun selangkah demi
selangkah. Teknik tersebut merupakan pemikiran atau hasil pengamatan
dari lintasan yang dilihat (apakah ada chimney, crack, dan sebagianya).
•Mempersiapkan perlengkapan yang diperlukan.
•Gerak memanjat yang sesuai dengan lintasan dan teknik yang dibicarakan.
Dengan
kegiatan dasar di atas kita dapat mengerti dan menyadari apa saja
sesungguhnya masalah yang ada selama pendakian, sehingga dengan demikian
kita dapat mempersiapkan dan berlatih serta selalu mengembangkan
kemampuan dengan lebih terarah dan efektif.
Ketika mulai mendaki
dan sedang mendaki sering sekali kita dihadapkan pada tonjolan atau
celah yang berbeda-beda jarak jangkauannya. Usahakan jangan menjangkau
terlalu jauh, sehingga berat badan masih tetap terkonsentrasi pada
bidang tumpuan. Gerakan yang terlalu cepat dan tergesa-gesa bisa
berbahaya. Ketangkasan bergerak adalah hasil latihan yang teratur dan
terarah, bukan dari ketergesa-gesaan.
Dalam pergerakan
menyilangkan kaki akan dapat menghilangkan keseimbangan, dan biasanya
sulit dilakuakan. Penting sekali selalu bergerak dengan 3 bagian anggota
badan tetap pada tumpuan sementara 1 anggota badan mencari tumpuan
baru. Gerakan ini dikenal dengan gerakan “tiga satu”. Sebelum bertumpu
pada suatu pegangan, hendaknya selalu dicoba atau diperiksa terlebih
dahulu, apakah kuat atau tidak menahan badan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar