Sabtu, 29 Desember 2012

Mountainerring bag. 2

Pembagian Pendakian Berdasarkan Pemakaian Alat

1.Free Climbing
Sesuai dengan namanya, pada free climbing alat pengaman yang paling baik adalah diri sendiri. Namun keselamatan diri dapat ditingkatkan dengan adanya ketrampilan yang diperoleh dari latihan yang baik dan mengikuti prosedur yang benar. Dengan latihan yang baik, otot-otot tangan dan kaki akan cukup kuat dan terlatih. Begitu pula dengan keseimbangan badan dan gerakan-gerakan, akan terlatih dengan sendirinya. Disamping itu kita dapat memperkirakan kemampuan kita dan memperhitungkan lintasan yang akan dilalui. Pada free climbing, peralatan berfungsi hanya sebagai pengaman. Tali, carabiner, sling, chock, dan piton tetap dipakai, tetapi hanya berfungsi sebagai pengaman bila jatuh.
Dalam pelaksanaannya, ia bergerak sambil memasang, jadi kalaupun tanpa alat-alat tersebut ia masih mampu bergerak atau melanjutkan pendakian. Dalam pendakian tipe ini seorang pendaki diamankan oleh belayer.

2.Free Soloing
Merupakan bagian dari free climbing, tetapi si pendaki benar-benar melakukannya degan segala risiko yang siap dihadapinya seorang diri. Dalam pergerakannya ia tidak memerlukan peralatan pengaman. Untuk melakuakan free soloing climbing, seorang pendaki harus benar-benar mengetahui segala bentuk rintangan atau bentuk-bentuk pergerakan pada rute yang dilaluinya. Bahkan kadang-kadang ia harus menghapalkan dahulu segala gerakan, baik itu tumpuan atau pegangan. Sehingga biasanya orang akan melakukan free soloing climbing bila ia sudah pernah mendaki pada lintasan yang sama. Risiko yang dihadapi pendaki tipe ini sangat fatal sekali, sehingga hanya orang yang mampu dan benar-benar profesional yang akan melakukannya.

3.Artificial Climbing
Adalah pemanjatan tebing dengan bantuan peralatan tambahan, seperti paku tebing, bor, stirrup, dan lain-lainnya. Peralatan tersebut harus dipergunakan karena dalam pendakian sering sekali dihadapi medan yang kurang atau tidak sama sekali memberikan tumpuan atau peluang gerak yang memadai, misalnya menghadapi medan yang blank (tanpa ada tonjolan atau tumpuan). Peralatan berfungsi sebagai pengaman dan juga untuk mendapatkan tunpuan, pendakian dilakuakan secara berkelompok, pembagian tugas jelas antara leader dan belayer. Peralatan dan metode yang digunakan dimulai dari yang paling sederhana dan tepat. Kemampuan untuk bergerak cepat dan aman bukan disebabkan oleh adanya peralatan yang supermodern, tetapi lebih pada penggunaan teknik yang baik.

Sistem Pendakian
1.Himalayan Style; Sistem pendakian yang biasanya dengan rute yang panjang, sehingga untuk mencapai sasaran (puncak) diperlukan waktu yang lama. Sistem ini berkembang pada pendakian-pendakian ke Pegunungan Himalaya. Pendakian tipe ini biasanya terdiri atas beberapa kelompok dan tempat-tempat peristirahatan (base camp, fly camp). Sehingga dengan berhasilnya satu orang dari seluruh tim, berarti pendakian ini sudah berhasil untuk seluruh tim.
2.Alpine Style; Sistem ini banyak dikembangkan di pegunungan Eropa. Pendakian ini mempunyai tujuan bahwa semua pendaki harus sampai di puncak dan baru pendakian dianggap berhasil. Sistem pendakian ini umumnya lebih cepat karena para pendaki tidak perlu lagi kembali ke base camp (bila kemalaman bisa membuat fly camp baru, dan esoknya dilanjutkan kembali).

B.Teknik Turun/Rappeling
Teknik ini digunakan untuk menuruni tebing. Dikategorikan sebagai teknik yang sepenuhnya bergantung pada peralatan. Prinsip rappeling adalah sebagai berikut :
1.Menggunakan tali rappel sebagai jalur lintasan dan tempat bergantung.
2.Menggunakan gaya berat badan dan gaya tolak kaki pada tebing sebagai pendorong gerak turun.
3.Menggunakan salah satu tangan untuk keseimbangan dan tangan lainnya untuk mengatur kecepatan turun.

Macam-macam dan Variasi Teknik Rappeling
1.Body Rappel; Menggunakan peralatan tali saja, yang dibelitkan sedemikian rupa pada badan. Pada teknik ini terjadi gesekan antara badan dengan tali sehingga bagian badan yang bergesekan akan terasa panas.
2.Brakebar Rappel; Menggunakan sling/tali tubuh, carabiner, tali dan brakebar. Modifikasi lain dari brakebar adalah descender (figure 8). Pemakaiannya hampir sama, dimana gaya gesek diberikan pada descender atau brakebar.
3.Sling Rappel; Menggunakan sling/tali tubuh, carabiner, dan tali. Cara ini paling banyak dilakukan karena tidak memerlukan peralatan lain, dan dirasakan cukup aman. Jenis simpul yang dianjurkan adalah jenis Italian Hitch.
4.Arm Rappel/Hesti; Menggunakan tali yang dibelitkan pada kedua tangan melewati bagian belakang badan. Dipergunakan untuk tebing yang tidak terlalu curam.
Dalam rappeling, usahakan posisi badan selalu tegak lurus pada tebing, dan jangan terlalu cepat turun. Usahakan mengurangi sesedikit mungkin benturan badan pada tebing dan gesekan antara tubuh dengan tali. Sebelum memulai turun, hendaknya :
1.Periksa dahulu anchornya.
2.Pastikan bahwa tidak ada simpul pada tali yang dipergunakan.
3.Sebelum sampai ke tepi tebing hendaknya tali sudah terpasang dan pastikan bahwa tali sampai ke bawah (ke tanah).
4.Usahakan melakukan pengamatan sewaktu turun, ke atas dan ke bawah, sehingga apabila ada batu atau tanah jatuh kita dapat menghindarkannya, selain itu juga dapat melihat lintasan yang ada.
5.Pastikan bahwa pakaian tidak akan tersangkut carabiner atau peralatan lainnya.
PERALATAN PENDAKIAN

1.Tali Pendakian
Fungsi utamanya dalam pendakian adalah sebagai pengaman apabila jatuh. Mengingat fungsi yang begitu penting, tali haruslah kuat. Kekuatan tali ini tergantung dari diameter (ukuran tali) dan pabrik pembuatnya. Dianjurkan, jenis-jenis tali yang dipakai hendaknya yang telah diuji oleh UIAA, suatu badan yang menguji kekuatan peralatan-peralatan pendakian. Panjang tali dalam pendakian dianjurkan sekitar 50 meter, yang memungkinkan leader da belayer masih dapat berkomunikasi. Umumnya diameter tali yang dipakai adalah 10 – 11 mm, tetapi sekarang ada tali pendakian yang mempunyai kekuatan sama, yang berdiameter 9,8 mm. Untuk penggunaan double rope digunakan tali dengan diameter 8 – 9 mm. Ada dua macam tali pendakian, yaitu :
1.Static Rope, tali pendakian yang kelenturannya mencapai 2 – 5 % dari berat maksimum yang diberikan. Sifatnya kaku. Umumnya berwarna putih atau hijau. Tali statik digunakan untuk rappeling.
2.Dynamic Rope, tali pendakian yang kelenturannya mencapai 5 – 15 % dari berat maksimum yang diberikan. Sifatnya lentur dan fleksibel. Biasanya berwarna menyolok (merah, jingga, ungu). Pada penggunaannya, digunakan oleh pendaki pertama (leader) sebagai pengaman dan dipasang di pengaman-pengaman yang telah dipasang (chock, piton, dan sebagianya) dengan bantuan carabiner dan sling.
Perawatan tali adalah dengan menggantungkan atau disimpan di tempat kering. Bila basah, dikeringkan dengan diangin-anginkan, jangan terkena sinar matahari secara langsung. Apabila kotor, tali ini dapat dicuci dengan cara menggosok atau menyikat dengan sikat halus. Jangan sampai merusak mantelnya. Tali kernmantel masih dapat dipakai dalam pendakian apabila mantel pada tali masih utuh, sehingga bagian dalam masih terlindungi.

Hal yang berkaitan dengan tali pada pendakian adalah simpul. Simpul-simpul yang digunakan harus memenuhi syarat sebagai berikut
•Mudah dibuat
•Cepat untuk dikuasai
•Aman (kuat) dan mudah untuk dibuka
Beberapa jenis simpul yang harus dikuasai :

2.Carabiner
Carabiner adalah sebuah cincin yang berbentuk oval atau huruf D dan mempunyai gate yang berfungsi sebagai peniti. Dibuat dari alumunium alloy dan mempunyai kekuatan bervariasi sesuai dengan desain pabrik pembuatnya. Biasanya kekuatan suatu carabiner tercantum pada alat tersebut. Ada dua jenis carabiner, yaitu :
a. Carabiner Screw Gate (menggunakan kunci pengaman)
b. Carabiner Non Screw Gate (tanpa kunci pengaman)
Kekuatan carabiner terletak pada pen yang ada, sehingga jika pen suatu carabiner sudah longgar, sebaiknya jangan dipakai.


3.SlingSling biasanya dibuat dari tabular webbing, terdiri dari beberapa tipe. Fungsi sling antara lain :
•Sebagai penghubung
•Membuat natural point, dengan memanfaatkan pohon atau lubang di tebing
•Mengurangi gaya gesek/memperpanjang point
•Mengurangi gerakan (yang menambah beban) pada chock atau piton yang terpasang.


4. Descender
Sebuah alat berbentuk angka delapan, terbuat dari alumunium alloy. Fungsinya sebagai pembantu menahan gesekan, sehingga dapat membantu pengereman. Biasa digunakan untuk membelay atau untuk rappeling.

5. Ascender
Berbentuk semacam catut yang dapat menggigit apabila diberi beban dan membuka bila dinaikkan. Fungsi utamanya sebagai alat bantu untuk naik pada tali.

6. Harnes/Tali Tubuh
Alat pengaman yang dapat menahan atau mengikat badan. Ada dua jenis harnes :
•Seat Harnes, menahan berat badan di pinggang dan paha.
•Body Harnes, menahan berat badan di dada, pinggang, punggung, dan paha.
•Harnes ada yang dibuat dengan merangkai webbing atau tali, dan ada yang sudah langsung dirakit oleh pabrik.

7. Sepatu
Ada dua jenis sepatu yang digunakan dalam pemanjatan :
•Sepatu yang lentur dan fleksibel. Bagian bawah terbuat dari karet yang kuat. Kelenturannya menolong untuk pijakan-pijakan di celah-celah. Contohnya : EB, Dolomite.
•Sepatu yang tidak lentur/kaku pada bagian bawahnya. Misalnya Combat boot (sepatu tentara). Cocok digunakan pada tebing yang banyak tonjolannya atau tangga-tangga kecil. Gaya tumpuan dapat tertahan oleh bagian depan sepatu.
8. Anchor (Jangkar)
Anchor adalah alat yang dapat dipakai sebagai penahan beban. Tali pendakian dimasukkan pada anchor, sehingga pendaki dapat tertahan oleh anchor bila jatuh. Ada dua macam anchor, yaitu :
•aNatural Anchor, bisa merupakan pohon besar, lubang-lubang di tebing, tonjolan-tonjolan batuan, dan sebagianya.
•Artificial Anchor, anchor buatan yang ditempatkan dan diusahakan ada pada tebing oleh si pendaki. Contoh : chock, piton, bolt, dan lain-lain.


Peralatan-peralatan lain yang mendukung suatu pendakian


CLIMBING CALL (ABA-ABA PENDAKIAN)
Aba-aba pendakian digunakan agar ada kerja sama yang baik antara leader dengan belayer. Aba-aba pendakian meliputi :
•Climbing when you’re ready
•Climbing
•OK
•Take in
•Slack
•Rock
•Fall
PROSEDUR PENDAKIAN
Tahapan-tahapan dalam suatu pendakian hendaknya dimulai dari langkah-langkah sebagai berikut :
1.Mengamati lintasan dan memikirkan teknik yang akan dipakai.
2.Menyiapkan perlengkapan yang diperlukan
3.Untuk leader, perlengkapan teknis diatur sedemikian rupa agar mudah untuk diambil/memilih dan tidak mengganggu gerakan. Tugas leader adalah membuka lintasan yang akan dilalui oleh dirinya sendirir dan pendaki berikutnya.
4.Untuk belayer, memasang anchor dan merapikan alat-alat (tali yang akan dipakai). Tugas belayer adalah membantu leader dalam pergerakan dan mengamankan leader bila jatuh. Belayer harus selalu memperhatikan leader, baik aba-aba ataupun memperhatikan tali, jangan terlalu kencang dan jangan terlalu kendur.
5.Bila belayer dan leader sudah siap memulai pendakian, segera memberi aba-aba pendakian.
6.Bila leader telah sampai pada ketinggian 1 pitch (tali habis), ia harus memasang anchor.
7.Leader yang sudah memasang anchor di atas selanjutnya berfungsi sebagai belayer, untuk mengamankan pendaki berikutnya.

Mountainerring bag. 1

PENDAHULUAN
Mendaki gunung bukan olah raga biasa. Setidaknya setiap pendaki gunung harus cukup mentalnya, mempunyai ketrampilan, kecerdasan, kekuatan, dan daya juang yang tinggi. Hal ini karena tantangan yang dihadapi mempunyai kualitas tersendiri. Pada hakekatnya bahaya dan tantangan tersebut adalah untuk menguji kemampuan diri sendiri dalam bersekutu dengan alam keras. Keberhasilan suatu pendakian yang sukar berarti keunggulan terhadap rasa takut dan kemenangan terhadap perjuangan melawan diri sendiri.
Sejak dua abad yang lalu, kegiatan mendaki gunung mulai dikenal dan digemari oleh manusia. Dimulai sejak manusia harus melintasi bukit-bukit atau pegunungan, baik semasa peperangan maupun ketika melakukan tuntutan kehidupannya. Seperti yang dilakukan oleh Hanibal, panglima kerajaan Kartago, atas Pegunungan Alpen yang bersejarah. Atau petualangan yang dilakukan oleh Jengis Khan yang melintasi Pegunungan Karakoram dan Kaukasus untuk menuju Asia Tengah.
Dalam bentuknya seperti sekarang ini, pendakian yang gemilang untuk pertama kalinya terjadi pada tahun 1786, ketika Dr. Paccard dan seorang pemandu Balmant berhasil mencapai Puncak Mount Blanc (4807 m), yang maksudnya sebagai pengamatan ilmiah.
Babak berikutnya, puncak-puncak Pegunungan Alpen mulai dijajagi oleh penggemar olah raga mendaki gunung, dan semakin populer setelah Sir Alfred Willis beserta kawan-kawannya pada tahun 1854 berhasil mencapai Puncak Watterhorn (3708 m). pendakian itu merupakan abad emas Alpinisme dan merupakan cikal bakal terbentuknya perkumpulan pendaki gunung tertua di dunia, British Alpine Club (1857).
Kemudian Edward Whymper, seorang pelukis Inggris memimpi pendakian ke Matterhorn (4478 m) pada tahun 1865. Pendakian tersebut dimaksudkan untuk membuat lukisan Pegunungan Alpen. Tetapi tragis, ketika mereka turun setelah keberhasilannya, tali pengaman putus sehingga merenggut 4 jiwa dari 7 anggota kelompoknya. Setelah pendakian yang penuh tragedi itu, mulailah para pendaki gunung mencoba mencapai puncak-puncak lainnya.
Ketika puncak-puncak Pegunungan Alpen sudah sering didaki, para pendaki mulai mencari puncak lainnya, dan mengalihkan pilihan pada Pegunungan Himalaya.
Sekelompok pendaki gunung Perancis, pada 1950 berhasil mencapai Puncak Annapurna I (8078 m). prestasi ini mendorong minat Kolonel John Hunt untuk memimpin ekspedisi mencapai Mount Everest (8848 m), puncak tertinggi di dunia yang ditemukan pada 1852 oleh Sir Andrew Vaugh (mengambil nama Everest untuk menghormati gurunya Sie George Everest).
Setelah beberapa kali mengalami kegagalan, akhirnya Mount Everest dapat dicapai oleh Edmund Hillary dari Selandia Baru dengan bendera Inggris, Nepal, dan PBB bersama seorang pemandu dari Nepal Tenzing Norgay pada tanggal 29 Mei 1953.
Di Indonesia, pada tahun 1909 – 1911, suatu ekspedisi persatuan ahli-ahli burung dari Inggris menembus rimba Irian dari arah Selatan, menuju gugusan pegunungan salju Jayawijaya. Mereka tinggal selama 16 bulan, tetapi kembali dengan kegagalan.
Ekspedisi Van der Pie pada tahun berikutnya mengambil arah dari sebelah Timur, dan juga mengalami kegagalan. Tahun 1912, Dr. Walaston dengan jalur Utara Lembah Itakwa berhasil mencapai ketinggian 3000 meter, namum belum berhasil mencapai Puncak Cartenz Pyramide. Ekspedisi berikutnya lebih berhasil di bawah pimpinan Dr. A. H. Colijin, mencapai Puncak NggaPulu (4862 m) di dinding Utara gletser es Puncak Jaya pada tahun 1936.
Pendakian itu membuka lembaran sejarah baru bagi pendakian di Indonesia. Tetapi lama setelah itu, ekspedisi dari Selandia Baru di bawah pimpinan Henrich Harreu pada 1962 berhasil mencapai puncak bersalju Cartenz Pyramide (4884 m). Tanggal 1 Maret 1964, Sugirin, Soedarto dan Fred Athaboe bersama Tazuke dan kawan-kawannya dari Jepang yang tergabung dalam Ekspedisi Cendrawasih berhasil mencapai Puncak NggaPulu yang kemudian diberi nama Puncak Soekarno di pegunungan tengah Jayawijaya.
Masih di tahun yang sama pada bulan Mei, Wanadri di Bandung diresmikan sebagai perkumpulan penempuh rimba dan pendaki gunung, dan Mapala UI di Jakarta di penghujung tahun yang sama. Dan secara serempak kemudian bermunculan perkumpulan lainnya serupa di berbagai kota di bumi.

Jenis-jenis Pendakian/Perjalanan
Olah raga mendaki gunung sebenarnya mempunyai tingkat dan kualifikasinya. Seperti yang sering kita dengar adalah istilah mountaineering atau istilah serupa lainnya. Istilah yang keren itu membuat kita tersipu, karena artinya begitu luas, misalnya mencakup pengertian perjalanan mulai melintasi bukit hingga melakukan ekspedisi ke Himalaya.

Menurut bentuk dan jenis medan yang dihadapi, mountaineering dapat dibagi sebagai berikut :
1.Hill Walking/Feel Walking
•Perjalanan mendaki bukit-bukit yang relatif landai. Tidak membutuhkan peralatan teknis pendakian. Hal utama adalah jalur pendakian sudah tersedia. Perjalanan ini dapat memakan waktu sampai beberapa hari, sehingga ketrampilan memilih tempat berbivak sangat diperlukan, atau kadang-kadang sudah tersedia.
•Contoh : perjalanan ke puncak Gunung Gede.
2.Scrambling
•Pendakian setahap demi setahap pada suatu permukaan yang tidak begitu terjal. Tangan kadang-kadang dipergunakan hanya untuk keseimbangan. Untuk pemula, tali kadang-kadang harus dipasang untuk pengamanan dan mempermudah gerakan.
•Contoh : perjalanan di sekitar puncak Gunung Gede jika melalui jalur Cibodas. Tali dipasang selain sebagai pengaman, juga untuk mempermudah perjalanan ke puncak.
3.Climbing
Dikenal sebagai suatu perjalananpendek yang umumnya tidak memakan waktu lebih dari 1 hari, hanya rekreasi ataupun beberapa pendakian gunung yang praktis. Kegiatan pendakian yang membutuhkan penguasaan teknik mendaki dan penguasaan pemakaian peralatan. Bentuk climbing ada dua macam :
•Rock Climbing; Pendakian pada tebing-tebing batu atau dinding karang. Jenis pendakian ini akan diuraikan lebih lanjut, karena jenis pendakian inilah yang umumnya ada di daerah tropis.
•Snow and Ice Climbing; Pendakian pada es dan salju. Pada pendakian ini peralatan-peralatan khusus sangat diperlukan, seperti ice axe, ice screw, crampon, dan lain-lain.

4.Mountaineering
Merupakan gabungan perjalanan dari semua bentuk pendakian di atas. Bisa memakan waktu berhari-hari, bahkan sampai berbulan-bulan. Di samping pengetahuan teknik mendaki dan pengalaman mendaki, perlu juga dikuasai manajemen perjalanan, pengaturan makanan, komunikasi, dan lain-lain. Contoh : ekspedisi ke Himalaya.

TEKNIK DASAR PENDAKIAN/ROCK CLIMBING

A. Teknik Mendaki
Teknik memanjat pada dasarnya merupakan cara agar kita dapat menempatkan tubuh sedemikian rupa sehingga cukup stabil, memberi peluang untuk bergerak, dan dapat bertahan lama (tidak melelahkan). Dengan demikian kita dapat melakukan pendakian dengan tepat, aman, dan sedapat mungkin cepat.
Stabilitas atau keseimbangan kedudukan badan muncul sebagai hasil hubungan antara berat badan dan gaya tumpuan atau pegangan yang ada pada permukaan tebing. Pengaturan letak badan, gaya tumpuan dan pegangan menentukan kestabilan yang diperoleh. Peluang gerak untuk mendaki lebih lanjut ditentukan oleh kemampuan menempatkan tubuh pada tempat yang cocok untuk kondisi medan yang dihadapi.
Pada umumnya dinding tebing terdiri dari bermacam cracks dan ledges. Karena pengaruh iklim, suhu, angin, serta faktor lainnya, dinding tebing mengalami kontraksi dan ekspansi yang menyebabkan munculnya celah mulai dari yang kecil/sempit sampai yang panjang/lebar. Dinding sering mengalami erosi sehingga mengalami kekasaran dan ketidakrataan permukaan. Kekasaran dan ketidakrataan ini dapat dipergunakan sebagai tumpuan/injakan maupun pegangan. Karena bermacamnya kondisi permukaan tebing ini, maka teknik memanjat dikelompokkan berdasarkan tiga kategori umum. Pengelompokkan ini sesuai dengan bagian tebing yang dimanfaatkan untuk memperoleh gaya tumpuan dan pegangan.

1.Face Climbing
Yaitu memanjat pada permukaan tebing dimana masih terdapat tonjolan atau rongga yang memadai sebagai pijakkan kaki maupun pegangan tangan. Para pendaki pemula biasanya mempunyai kecenderungan untuk mempercayakan sebagian besar berat badannya pada pegangan tangan, dan menempatkan badannya rapat ke tebing. Ini adalah kebiasaan yang salah. Tangan manusia tidak biasa digunakan untuk mempertahankan berat badan dibandingkan kaki, sehingga beban yang diberikan pada tangan akan cepat melelahkan untuk mempertahankan keseimbangan badan. Kecenderungan merapatkan badan ke tebing dapat mengakibatkan timbulnya momen gaya pada tumpuan kaki. Hal ini memberikan peluang untuk tergelincir. Konsentrasi berat di atas bidang yang sempit (tumpuan kaki) akan memberikan gaya gesekan dan kestabilan yang lebih baik.

2.Friction/Slab Climbing
Teknik ini semata-mata hanya mengandalkan gaya gesekan sebagai gaya penumpu. Ini dilakukan pada permukaan tebing yang tidak terlalu vertikal, kekasaran permukaan cukup untuk menghasilkan gaya gesekan. Gaya gesek terbesar diperoleh dengan membebani bidang gesek dengan bidang normal sebesar mungkin. Sol sepatu yang baik dan pembebanan maksimal di atas kaki akan memberikan gaya gesek yang baik.

3.Fissure Climbing
Teknik ini memanfaatkan celah yang dipergunakan oleh anggota badan yang seolah-olah berfungsi sebagai pasak. Dengan cara demikian, dan beberapa pengembangan, dikenal teknik-teknik berikut :
•Jamming adalah teknik memanjat dengan memanfaatkan celah yang tidak begitu lebar. Jari-jari tangan, kaki, atau tangan dapat dimasukkan/diselipkan pada celah sehingga seolah-olah menyerupai pasak.
•himneying adalah teknik memanjat celah vertikal yang cukup lebar (chimney). Badan masuk di antara celah, dan punggung di salah satu sisi tebing. Sebelah kaki menempel pada sisi tebing depan, dan sebelah lagi menempel ke belakang. Kedua tangan diletakkan menempel pula. Kedua tangan membantu mendorong ke atas bersamaan dengan kedua kaki yang mendorong dan menahan berat badan.
•Bridging adalah teknik memanjat pada celah vertikal yang lebih besar (gullies). Caranya dengan menggunakan kedua tangan dan kaki sebagai pegangan pada kedua celah tersebut. Posisi badan mengangkang, kaki sebagai tumpuan dibantu oleh tangan yang juga berfungsi senagai penjaga keseimbangan.
•Lay Back adalah teknik memanjat pada celah vertikal dengan menggunakan tangan dan kaki. Pada teknik ini, jari tangan mengait tepi celah tersebut dengan punggung miring sedemikian rupa untuk menempatkan kedua kaki pada tepi celah yang berlawanan. Tangan menarik ke belakang dan kaki mendorong ke depan dan kemudian bergerak naik ke atas silih berganti.
Teknik-teknik lain yang sering digunakan dalam pendakian tebing adalah :
•Hand Traverse adalah teknik memanjat pada tebing dengan gerak menyamping (horizontal). Hal ini dilakukan bila tempat pegangan yang ideal sangat minim dan memanjat vertikal sudah tidak memungkinkan lagi. Teknik ini sangat rawan, dan banyak memakan tenaga karena seluruh berat badan tergantung pada pegangan tangan. Sedapat mungkin pegangan tangan dibantu dengan pijakan kaki (ujung kaki) agar berat badan dapat terbagi lebih merata.
•Mantelself adalah teknik memanjat tonjolan-tonjolan (teras-teras kecil) yang letaknya agak tinggi, namun cukup besar dan dapat diandalkan untuk tempat berdiri selanjutnya. Kedua tangan dipergunakan untuk menarik berat badan, dibantu dengan pergerakan kaki. Bila tonjolan-tonjolan tersebut setinggi paha atau dada, maka posisi tangan berubah dari menarik menjadi menekan, untuk mengangkat berat badan, yang dibantu dengan dorongan kaki.
Proses memanjat merupakan gabungan dari berbagai kegiatan dasar, yaitu :
•Mengamati, mengenal medan, dan menentukan lintasan/rute yang akan dilalui, baik secara keseluruhan maupun selangkah, yang sangat menentukan untuk langkah berikutnya. Permukaan tebing yang banyak memiliki tangga-tangga (teras kecil), tonjolan, lekukan, dan celah serta sudut (corner) merupakan lintasan-lintasan yang mungkin untuk dilalui.
•Memikirkan teknik yang akan dipakai secara keseluruha maupun selangkah demi selangkah. Teknik tersebut merupakan pemikiran atau hasil pengamatan dari lintasan yang dilihat (apakah ada chimney, crack, dan sebagianya).
•Mempersiapkan perlengkapan yang diperlukan.
•Gerak memanjat yang sesuai dengan lintasan dan teknik yang dibicarakan.

Dengan kegiatan dasar di atas kita dapat mengerti dan menyadari apa saja sesungguhnya masalah yang ada selama pendakian, sehingga dengan demikian kita dapat mempersiapkan dan berlatih serta selalu mengembangkan kemampuan dengan lebih terarah dan efektif.
Ketika mulai mendaki dan sedang mendaki sering sekali kita dihadapkan pada tonjolan atau celah yang berbeda-beda jarak jangkauannya. Usahakan jangan menjangkau terlalu jauh, sehingga berat badan masih tetap terkonsentrasi pada bidang tumpuan. Gerakan yang terlalu cepat dan tergesa-gesa bisa berbahaya. Ketangkasan bergerak adalah hasil latihan yang teratur dan terarah, bukan dari ketergesa-gesaan.
Dalam pergerakan menyilangkan kaki akan dapat menghilangkan keseimbangan, dan biasanya sulit dilakuakan. Penting sekali selalu bergerak dengan 3 bagian anggota badan tetap pada tumpuan sementara 1 anggota badan mencari tumpuan baru. Gerakan ini dikenal dengan gerakan “tiga satu”. Sebelum bertumpu pada suatu pegangan, hendaknya selalu dicoba atau diperiksa terlebih dahulu, apakah kuat atau tidak menahan badan.

SAR dan ESAR bag. 2

EXPLORER SEARCH AND RESCUE

Teknik – Teknik Pencarian
Walaupun perencanaan pencarian yang spesifik akan bervariasi, tergantung kepada situasi, strategi yang umum telah dikembangkan. Dimana strategi ini dapat diterapkan untuk hampir pada seluruh situasi di alam bebas.

Kesemuanya ini berkisar antara 5 mode, sebagai berikut :
1.Preliminary Mode; Mengumpulkan informasi-informasi awal, sejak dari mulai tim-tim pencari diminta bantuan tenaganya, sampai kedatangannya di lokasi, formasi dari perencanaan pencarian awal, perhitungan-perhitungan, dan sebagainya.
2.Confinement Mode; Memantapkan garis batas untuk mengurung orang yang hilang agar berada didalam area pencarian (search area).
3.Detection Mode; Pemeriksaan ditempat-tempat yang dicurigai, bila dirasa perlu. Dan pencarian dengan cara menyapu (sweep searches), diperhitungkan untuk menemukan orang yang hilang atau barang-barangnya yang tercecer.
4.Tracking Mode; Mengikuti jejak-jejak (jejak kaki, tebasan, rintisan, singkapan tumbuhan, dan lain-lain) atau barang-barang yang tercecer, yang ditinggalkan oleh orang yang hilang berdasarkan data yang dimiliki.
5.Evacuation Mode; Memberikan perawatan kepada korban dan membawanya dengan tandu apabila dibutuhkan.
Dari kelima mode itu, anggota Explorer Search And Rescue (ESAR) Team, umumnya akan banyak terlibat pada Confinement, Detection, dan Evacuation.


PRELIMINARY MODE
Pada Preliminary Mode, Operastion Leader (OL) dari ESAR akan bertugas sebagai penghubung dengan badan yang bertanggung jawab (Polisi, Badan SAR Nasional, dan lain-lain) dan bertanggung jawab bersama kelompok SAR yang lain untuk merumuskan perencanaan pencarian. Anggota tim umumnya tidak terlibat dalam masalah ini. Sejauh itu juga, ESAR Team tidak dilibatkan di dalam Tracking Mode.
Tracking Mode biasanya menggunakan :
- Anjing pelacak
- Manusia yang terlatih menyandi jejak.

CONFINEMENT MODE
Sasaran :
Pemikiran yang melatarbelakangi Confinement Mode adalah sederhana, yaitu menjebak orang yang hilang di dalam satu area yang kita ketahui batas-batasnya, sampai :
1. Area itu dapat disapu (dilakukan pencarian) dengan batas-batas nyata.
2. Orang yang hilang itu akan bergerak keluar area pencarian dan (dalam proses) dapat tertangkap atau ditemukan oleh tim pencari.
Waktu :
Di permulaan tahap awal dari operasi pencarian.
Di dalam praktek, Confinement mungkin jarang digunakan, tetapi untuk daerah pencarian yang luas, terutama daerah yang tidak memiliki tanda-tanda alam yang jelas, tindakan ini akan sangat berharga dan suatu kerja yang ada dasarnya.
Kecenderungan yang umum terjadi adalah mengirimkan tim pencari untuk melakukan pencarian ke area pencarian, yang diduga didatangi oleh orang yang hilang. Akan tetapi bila OL salah menduga dan tim pencari serta subyek bergerak lebih jauh, konsekuensinya search area (area pencarian) yang memungkinkan akan bertambah luas.
Kerja awal untuk dapat mencapai Confinement adalah memagari kemungkinan gerak pencarian yang padat yang mungkin diperlukan, ada kemungkinan bila areal pencarian menjadi terlalu luas.
Metoda :
1.Trail Block; Tim kecil dikirim untuk memblokir jalan setapak yang keluar dan masuk ke search area. Mereka mencatat nama-nama dan data-data dari setiap orang yang meninggalkan search area dan memberi tahu yang akan masuk ke search area tentang orang yang hilang. Setidak-tidaknya satu orang tetap berjaga sepanjang waktu dan dapat memperhitungkan bahwa tidak seorang pun dapat lewat tanpa diketahui. Trail Block harus tetap diawasi sepanjang waktu sampai diperintahkan beralih ke metoda lain.
2.Road Block; Pada dasarnya sama dengan Trail Block. Kadang tenaga suka rela atau penggemar jeep diminta bantuannya untuk berfungsi disini, sebagaimana juga sebagai tim pencari di jalan-jalan setapak. Apabila search area diputuskan tertutup bagi orang yang bukan tim pencari, seseorang (sebaiknya petugas hukum) sebaiknya ditempatkan di Road Block.
3.Look Outs; Sering ada tempat-tempat di sekitar batas search area yang memberikan batas pandangan yang luas ke dalam lembah-lembah di sebelahnya, sungai-sungai, dan sebagainya. Di tempat lain mungkin ada sebentuk cerobong-cerobong alam (tunnel) yang menyebabkan orang yang hilang (subyek) untuk memilih jalan itu. Sebuah tim kecil ditempatkan pada posisi-posisi itu, dapat mengawasi daerah-daerah di sekitarnya dengan teropong-teropong, dan ada kemungkinan dapat mendeteksi orang yang hilang bila ia bergerak lewat disana. Beberapa bentuk peralatan (asap, bunyi-bunyian, lampu, bendera, dan lain-lain) dapat digunakan untuk menarik perhatian subyek. Variasi lain bergerak memeriksa beberapa lokasi lain dan obyek-obyek mencurigakan yang berada di dalam jarak pandang pengamat. Semua metoda ini diperhitungkan untuk tetap menjaga agar subyek tidak dapat meninggalkan search area tanpa terdeteksi.
4.Camp - In; Camp-In dapat saja berbentuk Look Outs, Trail Block, Radio Relay (radio penghubung), atau situasi lain, dimana satu tim kecil menempati lokasi-lokasi tertentu. Lokasi Camp-In merupakan lokasi yang mempunyai batas pandang yang cukup luas, pertemuan dari jalan setapak-jalan setapak, pertemuan cabang-cabang sungai, dan lain-lain. Tanda – tanda yang dapat menarik perhatian orang yang hilang, yang menunjukan arah menuju ke pos-pos tertentu dapat dipergunakan. Ditekankan kepada tim kecil yang memiliki kemampuan cukup untuk menempati lokasi yang diketahui dan memeriksa daerah sekitarnya, sampai diminta untuk melakukan hal lain.
5.Track Traps; Sebenarnya, track traps hampir mirip dengan metoda camp-in. tetapi, pada lokasi track traps tidak ditempatkan personil. Yang harus diperhatikan dalam melakukan metoda ini adalah lokasi track traps diperkirakan akan dilalui oleh subyek yang sedang dicari. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan jalur jalan yang berlumpur (becek) sehingga bila ada orang yang lewat di daerah tersebut, dapat terlihat jejak-jejaknya. Pemeriksaan lokasi track traps ini dilakukan secara berkala untuk melihat jejak. Hal yang penting untuk dipahami oleh tim pencari adalah untuk tidak merusak tepi sungai yang berpasir, daerah berlumpur pada jalan setapak, dan lain-lain, yang memungkinkan terjadinya jejak-jejak yang lebih jelas di atasnya. Akan tetapi, kalau hal ini tidak bisa dihindari, usahakan agar tim tracker (pencari jejak) dapat membedakan jejak-jejak yang sudah lama dengan yang baru.
6.String Lines; Metoda-metoda seperti Look Outs, Camp-In, Track Traps, akan efektif bila dilakukan pada daerah terbuka dengan luas pandang yang baik. Untuk daerah yang berpohon dan bersemak lebat, Tagged String Lines (bentangan tali yang bertanda) akan lebih efektif untuk kepentingan/tujuan yang sama dengan metoda lain di atas.

Pentingnya Cepat Tanggap
Reaksi yang cepat untuk pencarian anak-anak yang hilang dan orang-orang yang memiliki kesulitan kondisi kesehatan, telah lama disetujui.
Bagaimanpun baru pada saat ini, konsep ‘cepat tanggap’ harus diberlakukan kepada setiap situasi orang yang hilang, dipergunakan.
Sering dianggap seorang pemburu atau “hiker’ , bila diberi waktu sehari atau dua hari akan menemukan jalannya kembali, seandainya saja ia tersesat. Suatu kebetulan bahwa hal ini sering terjadi. Namun yang harus dipertimbangkan adalah bahwa makin berpengalaman seseorang, makin tinggi daya jelajahnya, serta semakin berani keputusan yang akan diambilnya. Dari kenyataan
ini akan terdapat kemungkinan bahwa sesuatu yang luar biasa telah terjadi sehingga orang tersebut tidak dapat kembali sesuai dengan jadwal yang direncanakannya. Misalnya saja orang tersebut mengalami cedera karena terjatuh. Atau karena orang tersebut menjelajah lebih jauh dari yang direncanakannya, karena ada sesuatu yang menimbulkan daya tariknya.
Bagaimanapun, bila mereka bergerak dengan arah yang tidak menuju ke jalan keluar, gerak pencarian hampir tidak mungkin dilaksanakan, karena luas search area yang dicurigai semakin bertambah luas.
Semakain kecil area, maka makin mudah dipagari atau dilakukan penyapuan.
Hubungan antara jarak tempuh dari titik akhir orang yang hilang dengan ukuran luas search area terlihat dari gambar berikut.
•Panjang jalan yang ditempuh dari titik awal (tempat subyek terakhir terlihat) = 1 mil. Maka luas areal penyapuan akan menjadi 3,1 mil persegi.
•Panjang jalan yang ditempuh dari titik awal = 2 mil; Luas areal penyapuan = 12,6 mil persegi.
•Panjang jalan yang ditempuh = 3 mil; Luas areal penyapuan = 28,3 mil persegi..
•Panjang jalan yang ditempuh = 4 mil; Luas areal penyapuan = 50,3 persegi.
Bila orang yang hilang mempunyai waktu untuk bergerak sejauh 10 mil, maka search area akan menjadi seluas 314 mil persegi. Mungkin akan dibutuhkan sekitar 50 orang pencari untuk menyapu daerah seluas 1 mil persegi, dengan waktu sehari penuh (8 jam kerja). Bahkan untuk daerah tertentu mungkin membutuhkan sekitar 300 orang pencari untuk daerah yang sama luasnya. Dapat dibayangkan, betapa sulit dan sangat memakan waktu melakukan pencarian di daerah seluas itu.
Karena search area sebaiknya tetap dijaga agar tidak semakin meluas. Diperlukan adanya tindakan yang cepat tanggap untuk memungkinkan hal tersebut.

Kesulitan pencarian terus bertambah sampai subyek tidak mampu bergerak lagi. Setelah itu, dalam beberapa saat akan bertambah, untuk seterusnya bergerak mendatar.
Ketika subyek tidak bergerak lagi, ia mungkin masih bisa berteriak atau dalam bentuk lain menjawab kepada para pencari. Bila ia menjadi tidak sadar, dan akhirnya meninggal, ia akan mencapai situasi untuk dapat ditemukan, tetapi kesulitan pencarian tidak bertambah.
Confinement dan Detection akan menjadi lebih mudah dilakukan, apabila luas search area kecil.
Tanggapan yang cepat terhadap situasi pencarian adalah kritis. Untuk itu perlu segera dilaksanakan Confinement dan Detection terhadap :

• Jalan-jalan
• Jalan setapak
• Sungai atau parit
• Bangunan atau gubuk-gubuk
• Daerah-daerah yang sulit
• Daerah punggungan gunung
• Dan lain-lain yang berada di daerah pencarian
Pencarian dengan cepat ini dilakukan oleh tim-tim kecil, beranggotakan 3 sampai 6 orang. Tim-tim ini mampu bergerak capat dan sistematis untuk melihat jejak-jejak yang mungkin ditinggalkan subyek. Ada kalanya tim harus bergerak melebar (misalnya bila bergerak di punggungan yang lebar), tetapi pada umumnya tidak.
Adalah bijaksana untuk berhenti dengan suatu interval tertentu, untuk melihat kesekitar area, memanggil orang yang hilang, dan menunggu apakah ada jawaban.
Pemimpin tim tetap harus melaporkan kepada OL tentang kemajuan dari tim : menemukan barang yang tercecer, jalan-jalan, jalan setapak, bangunan, yang tak terpetakan. Posko akan mencatat penemuan itu dan lokasinya.
Apabila OL memerintahkan membawa barang itu, sebuah marker ditempatkan pada lokasi itu, untuk memungkinkan pencari-pencari lain atau petugas Polisi untuk menemukan posisi itu, bila dibutuhkan pada saat terakhir.

DETECTION

Pengantar
Detection adalah suatu tindakan atas dasar pertimbangan kemungkinan menemukan orang yang hilang atau barang-barang yang tercecer yang ditinggalkan oleh orang yang hilang. Pada keadaan inilah, tenaga ESAR sangat dibutuhkan.

METODA
Metoda Detection ini telah dikelompokan dalam tiga kategori, yaitu :
1. Tipe I Search
Pemeriksaan tidak resmi yang segera dilakukan terhadap area yang dianggap paling memungkinkan. (Penamaan lain adalah Reconnaissance atau Hasty Searchhing / pencarian terburu-buru).
Sasaran :
1. Suatu pemeriksaan segera atas area spesifik yang sangat memungkinkan.
2. Memperoleh informasi tentang search area
Waktu :
1. Pada tahap awal operasi
2. Setiap saat untuk memeriksa area yang tidak diyakini tersapu atau untuk melakukan pemeriksaan ulang tempat-tempat yang sangat memungkinkan.
Metoda :
Sebuah tim kecil yang mampu bergerak cepat dikirimkan untuk memeriksa.

2.Tipe II Search
Kriterianya adalah efisiensi, pemeriksaan yang cepat dan sistematis atas area yang luas dengan metoda penyapuan, yang akan menghasilkan hasil tertinggi dari setiap pencari setiap jam kerjanya (Dinamakan juga Open Grid).
Sasaran :
Pencarian yang cepat atas area yang luas.
Waktu :
1. Pada tahap awal operasi pencarian, terutama bila jangka waktu orang yang hilang itu untuk bertahan hidup sangatlah pendek.
2. Pada situasi dimana search area luas, tidak ada area-area khusus yang dapat diidentifikasi,dan bila kekurangan tenaga untuk bisa meliput seluruh area.
Metoda :
Pencarian menyapu dengan jarak yang lebar di antara tim pencari. Walaupun ini tidak secermat seperti bila jarak antara pencari lebih sempit, cara ini lebih efisien (menghasilkan pencapaian yang lebih besar dari kemampuan kerja pencari per jam dari waktu pencarian).
Jumlah anggota tim bervariasi antara 3 sampai 7 orang. Jarak penyapuan yang lebar dapat dilaksanakan sempurna oleh tim yang terdiri dari 3 orang dengan sudut kompas sejajar.

Bila jumlah anggota tim lebih dari 5 orang, akan lebih bijaksana untuk memiliki Pemimpin Tim yang bergerak bolak-balik selebar areal penyapuan.
Tugasnya adalah untuk:
1. Memperhatikan apakah pemegang kompas ( Compass man) dapat menjaga sudut kompas yang sejajar.
2. Mengatasi hal-hal yang muncul mendadak.
3. Memeriksa penemuan-penemuan.

Apabila seseorang anggota tim menemukan sesuatu atau mendapat kesulitan dalam menembus kerimbunan hutan, ia harus berteriak HALT atau STOP (berhenti). Pemimpin Tim atau Team Leader akan memeriksa apa yang menjadi alasan untuk berhenti dan akan memberi perintah untuk bergerak kembali bila setiap anggota timnya sudah siap. Adalah merupakan prinsip umum gerak berjajar ini, bahwa setiap anggota tim boleh berteriak HALT, tetapi hanya Team Leader yang boleh memerintahkan tim untuk bergerak kembali.
Seperti juga pada tipe I Search, tim harus secara periodik berhenti dan memanggil orang yang hilang itu. Ini harus diikuti dengan seluruh anggota tim tidak bersuara, agar dapat mendengar apabila ada suara jawaban.
Perhatian :
Bila kita mendengar jawaban, periksa melalui radio komunikasi, apakah ada tim lain disekitar kita dan apakah mereka mendengar kita memanggil. Sering terjadi, dua tim saling mengejar karena menyangka mereka telah bertemu dengan yang dicari.
Yang juga penting adalah setiap anggota tim untuk melihat ke belakang, ke muka, atau ke samping, karena akan menambah kesempatan untuk menemukan obyek.

Pada umumnya Tipe II Search digunakan untuk memeriksa sungai-sungai/parit. Di daerah yang berhutan lebat, sungai-sungai kecil merupakan jalan yang lebih mudah ditembus oleh obyek dibandingkan dengan belukar di sekitarnya.

Sering kali beberapa tim diminta untuk melakukan penyapuan sejajar. Ada cara umum tetap menjaga regu-regu itu dari saling tumpang tindih satu sama lain atau tidak bisa lagi menjaga jarak di antara mereka. Pertama adalah menggunakan kompas dan kedua dengan menggunakan pita-pita sebagai kisi-kisi.


Metoda ini bergantung pada ketepatan penggunaan kompas, bagaimanapun bila panjang dari setiap penyapuan tidak besar, cara ini akan lebih cepat dan praktis.

Dengan meletakkan pita-pita pada batang pohon, dahan atau semak-semak dan sebagainya, orang yang paling pinggir menandai garis jalannya. Orang yang paling pinggir dari tim berikutnya dapat mengikuti pita-pita itu, dengan demikian tetap menjaga atau memelihara jarak dan tidak saling tumpang tindih dalam penyapuan dari tim.
Umumnya pita-pita itu akan diambil oleh tim berikutnya untuk digunakan lagi kemudian.
Area yang tersapu secara efektif tertandai, yaitu area di belakang tim dan di antara dua garis pita.

3. Tipe III Search
Kriterianya adalah Kecermatan,pencarian dengan sistematika yang ketat atas area yang lebih kecil, menggunakan metoda penyapuan yang cermat (dinamakan Close Grid).
Sasaran :
Pencarian yang cermat atas area yang spesifik.
Waktu :
1. Bila metoda Tipe II telah dicoba tapi ‘Probability Of Detection (POD)’ ternyata lebih rendah dari yang diinginkan. (POD adalah besarnya kemungkinan obyek akan ditemukan bila ia berada di search area).
2. Bila search area terbatas dan tenaga kerja yang tersedia mencukupi.
3. Pencarian yang memberikan bukti-bukti yang sangat pasti.
Metoda :
Pencari menyapu dengan jarak penyapuan yang kecil. Hal yang ingin dicapai adalah kecermatan. Jumlah anggota tim terdiri dari 3 sampai 9 orang.

Sikap Mental Selama Pencarian :
Suatu kesalahan umum dari seorang para pemula adalah bahwa dengan bergerak sejajar, secara otomatis area akan terliput dengan cermat.
Padahal sering dengan jarak penyapuan yang sempit, sesuatu akan terlewati bila pencari tidak mengamati dengan sepenuh perhatiannya. Dengan demikian, akan menjadi penting untuk mengembangkan kebiasaan melihat secara agresif ke sekeliling selama pencarian.
Hal ini dapat dilakukan dengan mengembangkan pikiran ‘kita berusaha menemukan orang yang hilang’ dengan baik. Setiap kita menemukan batang pohon, kita berusaha mencari, adakah sesuatu yang tersembunyi di belakangnya. Atau kita berjalan melewati tempa-tempat yang rimbun selalu ada dugaan bahwa bisa saja bersembunyi disana. Hal seperti ini dapat membuat kita jenuh, tetapi hal ini adalah sesuatu yang penting.
Bila bentuk pencarian ini kita anggap sesuatu yang menarik, maka akan lebih efektif hasilnya. Kesungguhan, perhatian, sikap yang agresif dalam mengawasi merupakan komponen yang berharga bagi kerja yang efektif dan efisien.

Melihat ke Belakang
Tim yang bergerak sejajar, harus juga melihat kesegala arah yang mungkin terjangkau batas pandangnya. Karena ini akan memberikan bentuk pandangan yang sangat berbeda. Hal ini mendukung efektivitas pencarian.

Jarak :
Jarak untuk tipe III Search harus merupakan jarak maksimum di antara setiap pencari, yang memungkinkan mereka dapat melihat hamparan medan antara dirinya dengan pencari yang berada disebelahnya. Karena pencari di sebelahnya juga melihat hamparan medan yang sama dengan sudut pandang yang berlawanan, maka hal ini akan menghasilkan derajat kecermatan yang tinggi.

Membuat Jarak dengan Susunan Bertangga :
Satu variasi dari gerakan berjajar adalah membuat jarak susunan tangga dari anggota tim sehingga setiap anggota tim berada beberapa langkah di belakang orang yang menjadi patokannya. Pemilihan antara bergerak sejajar datar atau susunan tangga agaknya masih bergantung kepada kebiasaan untuk menggunakannya. Belum ada suatu penelitian yang telah bisa menyimpulkan cara bergerak yang mana yang lebih efektif.

Menandai Awal dan Akhir Dari Penyapuan Berjajar

Pada daerah pencarian yang luas sering diperlukan untuk meninggalkan tanda pada titik berangkat dan titik akhir penyapuan. Tanda ini menjelaskan pada bagian mana tim masuk dan meninggalkan lokasi itu, kapan, dan apa bentuk penyapuan yang telah dilakukan. Hal ini memungkinkan tim berikutnya untuk mengetahui dari mana mereka harus mulai bergerak. Tanda – tanda itu juga bisa dipakai untuk pemeriksaan ulang problem deteksi.
Bila 2 tim diharapkan bergerak dengan patokan sejajar selebar 200 kaki, tetapi ternyata tanda-tanda itu ditemukan hanya 150 kaki, sebuah problem telah ditemukan dengan kata lain disebut kegagalan. Juga tim dari Posko dapat memeriksa lokasi dari tanda – tanda tersebut, dengan demikian dapat memetakan daerah penyapuan tim dengan lebih teliti.

Pertama kali pita-pita digunakan untuk menandai titik-titik berangkat dan akhir penyapuan dari tanda-tanda. Tetapi pita-pita dapat membingungkan. Tidak lebih dari satu jam, dalam satu area penyapuan terdapat banyak sekali pita, sehingga tidak lagi artinya sebagai suatu tanda khusus. Tanda-tanda yang bertuliskan dapat dibaca dan dimengerti setiap saat.
Pita-pita :
Aturan yang baik adalah mengatur jarak pita sedemikian rupa sehingga dari satu pita kita sudah dapat melihat pita berikutnya. Hal ini dapat mengurangi waktu yang seharusnya terpakai bila tim harus berhenti untuk mencari pita berikutnya.

Daerah Pencarian Yang Berskala Besar
ESAR harus betul-betul menyadari tugasnya agar dapat bekerja sama dengan banyak pencari-pencari lain dari unit pencari. Metoda umum untuk menggarap operasi pencarian yang besar adalah memberi nama setiap unit ESAR dan melakukan pencarian di suatu paket dari Search Area.

SAR dan ESAR bag. 1

Sebelumnya telah diuraikan mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya kecelakaan, khususnya di gunung hutan. Hal yang berkaitan dengan masalah tersebut adalah kegiatan SAR (Search and Rescue=mencari dan menolong). Kegiatan SAR sudah banyak dikenal, baik SAR di udara, di laut, dan di darat.
Tujuan SAR adalah mencari dan menolong dengan cara efektif dan efisien, jiwa manusia dan sesuatu yang berharga yang berada dalam keadaan mengkhawatirkan (distress). Dengan demikian kegiatan SAR dalam pelaksanaannya haruslah cepat, cermat, dan cekatan (3C).

Anggota unit SAR harus dapat :
•Berpikir dan bertindak cepat sesaat setelah mendengar berita kecelakaan atau kehilangan.
•Membuat strategi dengan cermat, artinya dengan persiapan dan perhitungan yang matang, berdasar dan terkoordinasi.
•Melaksanakan strategi yang telah dibuat dengan cekatan dan dengan teknik yang terlatih serta kedisiplinan tinggi.
Masih sering kita dengar mengenai pelaksanaan SAR gunung hutan di Indonesia yang kurang berhasil, yaitu tidak berhasilnya menolong korban (survivor) dalam keadaan hidup. Hal yang dapat menghambat keberhasilan misi SAR adalah tidak ada/kurangnya faktor 3 C tersebut, misal :
•Keterlambatan atau kurangnya informasi, sementara kemampuan korban untuk bertahan hidup semakin menurun.
•Kurangnya komunikasi dan koordinasi, baik perorangan ataupun antar kelompok, khususnya pecinta alam, pendaki gunung, dan instansi yang bergerak dalam bidang ini yang kebetulan tergabung dalam misi SAR tertentu.
•Kekurangan/ ketidak seragaman pengetahuan dan pemahaman tentang SAR pada setiap kelompok.
•Kurang disiplin dan tanggung jawab, baik individu maupun kelompok dalam melaksanakan “aturan main” di dalam melakukan kegiatan SAR tersebut serta keseragaman/kesepakatan sistem pencarian.
Organisasi SAR di indonesia, sesuai dengan Keppres No.11 tahun 1972, sebelum dibentuk untuk penanganan SAR penerbangan dan pelayaran. Akan tetapi sebelum kegiatan di alam terbuka mulai banyak digiati, maka sangat perlu adanya SAR darat sehingga secara organisasi SAR ini dapat terbentuk dan berfungsi sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya.

Organisasi operasi SAR ini tidak harus di bawah koordinasi dari unsur-unsur di dalam organisasi SAR pemerintahan tetapi dapat saja dikoordinasikan pejabat yang mempunyai wewenang (misalnya dalam penguasaan daerah, mempunyai fasilitas-fasilitas, dan sebagainya) seperti Pangdam, Kapolres, Kapolda, dan lainnya. Jadi organisasi SAR ini bersifat temporer (dibentuk dan dibubarkan sesuai kebutuhan, pada saat misi SAR dimulai, berlangsung, dan selesai) dan organisasi SAR inilah yang sekarang dipergunakan pada operasi SAR darat (khususnya di Indonesia).

ORGANISASI SAR
Organisasi SAR yang Dikenal di Indonesia.
•BASARNAS (Badan SAR Nasional); Dibawah koordinasi DEPT. Perhubungan.
•KKR (Kantor Koordinasi Rescue) : ada 4 Lokasi (Jakarta, Surabaya, Ujung Pandang, dan Biak).
•SKR (Sub Koordinasi Rescue) : ada 15 daerah antara lain ( Medan, Padang, Tanjung Pinang, Pontianak, Denpasar, Menado, Banjarmasin, Kupang, Ambon, Balikpapan, Merauke, Jaya Pura).
Organisasi Operasi SAR
Struktur yang dibuat ketika terjadinya suatu misi SAR ( Insidentil ), dan akan dibubarkan setelah misi selesai.
•SC (SAR Coordinator); Biasanya pejabat pemerintahan yang mempunyai wewenang dalam penyediaan fasilitas.
•SMC (SAR Mission Coordinator) : Harus orang mempunyai pengetahuan yang tinggi dalam menentukan MPP (Most Probable Position), menentukan area pencarian, strategi pencarian (beberapa unit, teknik, dan fasilitasnya).
•OSC (On Scene Commander); Tidak mutlak ada tetapi juga bisa lebih dari satu tergantung wilayah komunikasi dan kesulitan jangkauannya.
•SRU (Search And Rescue Unit).; Adalah yang menjadi ujung tombak suatu pencarian, merupakan team-team yang melakukan pencarian di lapangan.
Tugas SMC
1. Menganalisa data yang masuk/diperoleh untuk :
•menentukan datum (MPP)
•menentukan daerah pencarian
•menentukan jumlah unsur yang dipakai
•memperkirakan berapa lama waktu operasi.

2. Melakukan koordinasi dengan semua unsur yang terlibat serta melayani hubungan koordinasi (misalnya dengan pejabat-pejabat,wartawan, dan lain-lain).
3. Menyesuaikan fasilitas logistik yang diperlukan SRU.

Sistem SAR
Ada 5 tahapan dalam operasi SAR :
1.Awarness Stage (Tahap Kekhawatiran)
Adalah kekhawatiran bahwa suatu keadaan darurat diduga akan muncul (saat disadarinya terjadi keadaan darurat / musibah).
2.Initial Action Stage (Tahap Kesiagaan / Preliminary Mode).
Adalah persiapan untuk menyiagakan fasilitas SAR dan untuk mendapatkan informasi yang lebih jelas, antara lain :
•Mengevaluasi dan mengklasifikasikan informasi yang didapat.
•Menyiapkan fasilitas SAR.
•Pencarian awal dengan komunikasi (Preliminary Communication Check / Precom).
•Perluas pencarian dengan komunikasi (Extended Communication Check / Excom).
3. Planning Stage (Tahap Perencanaan / Confinement Mode).
Yaitu saat dilakukan suatu tindakan sebagai tanggapan (respons) terhadap keadaan sebelumnya, antara lain :
•Search Planning Event (tahap Perencanaan Pencarian).
•Search Planning Sequence (urutan Perencanaan Pencariaan).
•Degree of Search Planning (tingkatan Perencanaan Pencarian).
•Search Planning Computating (Perhitungan Perencanaan Pencarian).

4.Operation Stage (tahap Operasi).
Detection Mode / Tracking Mode And Evacuation Mode
Yaitu dilakukannya operasi pencarian dan pertolongan serta penyelamatan korban secara fisik. Tahap operasi ini meliputi :
•Fasilitas SAR bergerak ke lokasi kejadian.
•Melakukan pencarian dan mendeteksi tanda-tanda yang ditemui, yang diperkirakan ditinggalkan suvivor (Detection Mode).
•Mengikuti jejak atau tanda-tanda yang ditinggalkan survivor (Tracking Mode).
•Menolong / menyelamatkan dan mengevakuasi korban (Evacuation Mode). Dalam hal ini yaitu memberikan perawatan gawat darurat kepada korban yang membutuhkannya dan membawa korban yang cedera kepada perawatan yang memuaskan (evakuasi).
•Mengadakan briefing kepada SRU.
•Mengirim / memberangkatkan fasilitas SAR.
•Melaksanakan operasi SAR di lokasi kejadian.
•Melakukan pergantian / penjadwalan SRU di lokasi kejadian.
5. Mission Conclution Stage (Tahap Akhir Misi).
Pada tahap ini dilakukan :
•Evaluasi hasil kegiatan
•Pengembalian unsur-unsur kepada satuannya masing-masing.
•Penyiagaan kembali (agar setiap unsur tetap siap bergerak setiap saat).
Komponen-komponen yang mendukung tahapan-tahapan di atas :
1.Organisasi; Merupakan struktur organisasi SAR, meliputi aspek pengerahan unsur, koordinasi, komando, dan pengendalian, kewenangan, lingkup penegasan, dan tanggung jawab untuk penanganan suatu musibah.
2.Fasilitas; Adalah komponen berupa unsur, peralatan, perlengkapan, serta fasilitas pendukung lainnya yang dapat digunakan dalam misi SAR.
3.Komunikasi; Adalah komponen penyelenggara komunikasi sebagai sarana untuk melakukan fungsi deteksi terjadinya musibah, fungsi komando, dan pengendalian operasi, membina kerja sama / koordinasi selama SAR berlangsung.
4.Emergency Care (perawatan gawat darurat); Adalah komponen penyediaan fasilitas perawatan gawat darurat yang bersifat sementara termasuk memberikan dukungan terhadap korban di tempat musibah sampai ke tempat yang lebih memadai.
5.Dokumentasi; Adalah komponen pendataan laporan dari kegiatan, analisa, serta data-data kemampuan yang akan menunjang efisiensi pelaksanaan operasi SAR, serta untuk perbaikan atau pengembangan kegiatan-kegiatan misi SAR yang akan datang.
Perencanaan
Pada tahap ini dituntut suatu persiapan perencanaan yang efektif (termasuk koordinasi). Pelaksanaannya adalah daerah gerak (Confinement Mode) yang merupakan daerah pencarian.

1. Search Planning Event (Tahap Perencanaan Pencarian).
Ada 5 tahapan pencarian yang berurutan, yaitu :
•Memperkirakan datum atau MPP (Most Probable Position).
•Menentukan luas area pencarian (Search Area).
•Memilih pola pencarian yang sesuai (Search Pattern).
•Menentukan pencakupan daerah yang diinginkan (Area Coverage).
•Mengembangkan perencanaan pencarian yang mungkin dilaksanakan dengan menggunakan unit pencari (SRU) yang ada.
2. Search Planning Sequence (Urutan Perencanaan Pencarian).
Secara umum urutan perencanaan pencarian adalah sebagai berikut :
•Menentukan posisi kejadian darurat dan mempertimbangkan pengaruh angin, arus air, dan hal-hal lain yang mungkin berpengaruh terhadap gerakan korban sejak waktu kecelakaan terjadi sampai tibanya unit pencari di tempat kejadian.
•Menentukan luas area pencarian untuk kemungkinan kesalahaan navigasi dari unit pencari dan kesalahan perhitungan dari faktor-faktor yang berpengaruh terhadap survivor.
•Memilih pola pencarian terbaik yang akan digunakan, dalam hal ini yang sesuai dengan situasi dan kondisi saat kejadian kecelakaan tersebut.
•Tipe dari Search Target yang dicari, dipertimbangkan dari jarak berapa target itu dapat dideteksi dengan alat sensor yang dimiliki unit pencari. Lebar penyapuan (sweep width) dan jarak jalur (search track spacing) harus diperhitungkan dan ditentukan untuk perkiraan kemampuan pendeteksian (Probability of Detection).
•Jumlah SRU yang tersedia dan keterbatasan pada faktor-faktor lain juga diperhitungkan (bila dianggap perlu) untuk mengembangkan perencanaan pencarian agar dapat melengkapi atau mengatasi suatu keadaan tertentu yang mungkin muncul.
Catatan :
SMC berkoordinasi dengan semua unsur-unsur yang terlibat dan memberikan pengarahan kepada Unit Pencari dan Penolong (SRU) yang di bawah koordinasi aksi pencariannya.

3. Tingkatan Perencanaan Pencarian (Degree of Search Planning)
Secara umum tingkatan dari perencanaan pencarian ini membutuhkan pertimbangan, sebagai berikut :
•Keadaan lingkungan alam dari insiden SAR itu.
•Ketepatan pelaporan posisi dari insiden.
•Dapat / tidaknya unit SAR yang terlatih / tersedia digunakan.
•Waktu yang terlewat sejak kecelakaan terjadi.
Keadaan lingkungan alam dari suatu insiden SAR menimbulkan faktor-faktor spesifik yang harus dipertimbangkan dalam perencanaan pencarian
Contoh :
Untuk suatu misi yang dilakukan di laut, ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap gerak survivor (survivor drift factor) yang akan masuk perhitungan tetapi hanya satu faktor saja yang mungkin dimasukkan bila misi ini dilakukan didaerah gunung sehingga :
•Apabila posisinya diketahui, perencanaan pencarian dapat dikatakan relatif sederhana.
•Apabila hanya arah tujuan yang diketahui, perencanaan pencarian akan lebih sulit.
•Apabila hanya gambaran-gambaran kasar yang diketahui, perencanaan pencarian akan menjadi sangat sulit.
Bagaimanapun tepatnya lokasi suatu kecelakaan diketahui, perencanaan pencarian akan selalu dibutuhkan. Mungkin hal itu direncanakan hanya dalam waktu singkat tetapi dengan pertimbangan-pertimbangan profesional untuk keseluruhan tahapan atau memerlukan waktu sampai beberapa jam dengan evaluasi yang berkesinambungan, perhitungan-perhitungan, pertimbangan-pertimbangan besar kecilnya faktor yang berpengaruh, dan koordinasi yang terus menerus sebelum satu SRU pun diberangkatkan.

4. Perhitungan Perencanaan Pencarian (Search Planning Computating)
Perhitungan itu meliputi :
• Lokasi insiden SAR (SAR Incident Location)
Tiga situasi yang mungkin timbul yang perlu diperhatikan untuk menentukan lokasi dari insiden SAR adalah :
• posisi diketahui
• jalan lintas diketahui
• area diketahui.

Definisi definisi yang digunakan dalam Perencanaan Pencarian :
1. Initial Location (Lokasi Antara).
Lokasi antara yang dimaksud dapat berupa :
•Aerospace Position (posisi di angkasa)
•Parachute Opening Position (posisi parasut mengembang)
•Surface Position (posisi di permukaan bumi)
•Under Water Position (posisi di bawah permukaan air)
•Dalam hal ini hanya akan disinggung lokasi antara pada permukaan bumi (di darat).
2. Definisi Datum dan Drift Datum.
•Datum adalah kemungkinan lokasi dari search object melalui koreksi dari drift pada banyak arah gerakan yang penting selama misi berlangsung. Ada tiga tipe datum yang mungkin berkembang bergantung pada bagaimana ketepatan lokasi antara dari search object itu diketahui, yaitu datum point, datum line, dan datum area.
•Drift adalah gerakan yang terarah dari search object yang disebabkan oleh momentum, helaan, angin, dan kekuatan-kekuatan lain.
•Datum Point (titik Datum) adalah titik yang dinyatakan apabila posisi antara dari search object diketahui. Perlu diperhatikan catatan waktu tertentu menurut jam (clock time).
•Datum Line (Garis Datum) adalah garis yang menghubungkan dua atau lebih titik datum, diperhitungkan pada waktu (jam) tertentu yang sama.
•Datum Area (Daerah Datum) adalah lokasi search object diperkirakan. Daerah Datum paling sering dibutuhkan apabila tidak diketahui posisi atau jalur lintasan.
Langkah langkah Perhitungan Perencanaan Pencarian.
Langkah pertama dalam perencanaan pencarian adalah menentukan datum, yang dimulai dari laporan suatu insiden SAR. Laporan ini bisa berupa posisi, jalur lintasan, atau area. Langkah berikutnya adalah koreksi drift.
• Pola-pola Pencarian (Search Pattern).
Setelah lokasi dan luas Search Area ditentukan, suatu pencarian yang sistematis terhadap target haruslah direncanakan.
Pemilihan pola-pola pencarian bergantung pada beberapa faktor, antara lain :
•Ketepatan datum
•Luas search area
•SRU yang dapat digunakan untuk pencarian
•Kemampuan SRU untuk dapat bergerak dan bernavigasi
•Kondisi cuaca dan medan di search target
•Besarnya / ukuran search target
•Alat-alat yang dimiliki survivor, yang mudah dideteksi
•Dan faktor-faktor lain yang diperkirakan perlu untuk diperhitungkan.
Tahap Operasi SAR
Operasi SAR sangat berhubungan dengan kendala waktu. Ada empat faktor yang sangat berhubungan dengan waktu dan masing-masing saling mempengaruhi karena proses ini merupakan sebuah urutan.
Keempat tahap tersebut, yaitu :
1.Pencarian korban; Pertolongan dapat segera dilakukan apabila telah ditemukan. Lokasi korban dapat diketahui atau diperkirakan. Tahap pencarian dapat diketahui dalam sekejap dengan Binokular, atau berhari-hari bila berupa perkiraan di sebuah jalur pendakian namun “entah dimana”. Tahapan ini dalam SAR disebut search, sedang tim pencari biasa disebut SRU.
2.Pencapaian ke korban; Tahap ini dapat memakan waktu pendakian hanya lima menit (mendaki bukit), beberapa jam (menuruni lereng curam), beberapa hari (mengikuti jalur pendakian dengan sejumlah advance camp).
3.Penanganan awal pada korban; Penanganan PGD pada sejumlah luka korban memberi kenyamanan pada korban dan menyiapkan korban untuk dievakuasi dengan selamat. Cedera dapat bersifat potensial (Hipotermi, Hipoglekemi, Dehidrasi) dan bersifat aktual (patah tulang paha, pendarahaan dalam, atau ketakutan).
4.Evakuasikan korban; Tahap ini dapat berlangsung sederhana dan sebentar (membimbing korban turun di jalur setapak) atau sangat sulit dan lama (mengambil korban dari atas batu di tengah jeram pada sungai yang banjir, menuruni korban dari tebing 600 meter).
Pelaksanaan operasi SAR dapat berupa :
1.Operasi pencarian tanpa operasi pertolongan (karena korban tidak ditemukan).
2.Operasi pertolongan tanpa operasi pencarian (karena lokasi sudah ditemukan / dilaporkan dengan pasti).
3.Operasi pencarian dilanjutkan dengan operasi pertolongan.

Ketika operasi dimulai, maka ada 8 tahapan kegiatan yang harus dilakukan, yaitu :
1.Briefing pencarian.
2.Pemberangkatan SRU.
3.Perjalanan SRU menuju daerah pencarian.
4.Pelaksanaan pencarian.
5.Bila menemukan sasaran.
6.Apabila perlu adanya pergantian SRU.
7.Penarikan SRU ke pangkalan.
8.Briefing ulang (debriefing) SRU.
Semua hal tersebut harus diketahui oleh setiap SRU.
Briefing pada operasi pencarian dilakukan oleh SMC dan sebaiknya digunakan check list sebagai berikut :
Situasi
•Keadaan darurat / distress
•Sasaran pencarian
•Data terperinci
•Posisi akhir yang diketahui
•Peralatan survivor yang dibawa
•Perkiraan keadaan
•SRU yang terlibat
Cuaca
•Pada saat musibah terjadi
•Saat pencarian akan dilakukan (selama di lokasi pencarian)
•Ramalan cuaca (dalam perjalanan dan di lokasi pencarian)
•Bahaya / ancaman dari keadaan cuaca yang dihadapi
Areal Pencarian
•Luas area yang akan diliput
•Tanda – tanda
•Ukuran
•Sumbu utama gerak pencarian
•Titik awal pencarian (CSP – Commence Search Point)
•Bahaya dari keadaan medan yang akan dihadapi
Pola Pencarian
•Penjelasan pola
•Track spacing
•Ketinggian pencarian
•Kemungkinan menemukan (POD)
•Ketepatan navigasi
•Variasi dari POD dan pencarian
•Kecepatan
Pada OSC, penjelasan seperti dibriefing dilengkapai dengan keterangan, antara lain :
•Jam tiba di daerah pencarian
•Komunikasi yang tersedia di lokasi
•Kecepatan SRU yang ditugaskan
•Kemampuan bertahan di lokasi
•Titik tolak dari daerah yang dikehendaki
Operasi SAR tidak berakhir setelah ditemukannya korban, tetapi sampai korban diselamatkan. Operasi pertolongan atau penyelamatan (rescue operation) mungkin dapat terjadi bersamaan dengan operasi pencarian (search operation) yang belum berakhir


Pola –pola Pencarian
Ada 8 kelompok utama pola pencarian, yaitu :
1.Track line
2.Parallel
3.Creeping line
4.Square
5.Sector
6.Contour
7.Flare
8.Homing